Rabu, 13 April 2016

Dewa si Anak yang Malang

Dewa si Anak yang Malang
Pinkan, Rian, Bella, Angel, dan Benny. Mereka berlima masuk ke dalam satu kelompok. Mereka mendapatkan tugas untuk mengadakan wawancara. Mereka berlima mengadakan perundingan untuk memilih orang yang akan diwawancarai. Mereka akhirnya memutuskan untuk memilih Dewa untuk topik wawancara kelompok mereka. Dewa, seorang anak yang bekerja sebagai tukang sapu di terminal Kampung Melayu.
Mereka mencari tahu di mana keberadaan Dewa. Mereka mencari Dewa di Jatinegara, tetapi mereka tidak menemukan Dewa di sana. Setelah mereka bertanya-tanya ke beradaan Dewa, akhirnya mereka diberitahu oleh orang kalau Dewa berada di Terminal Kampung Melayu. Di sana, ia bekerja. Mereka berlima tidak langsung bertemu dengan Dewa. Setelah 15 menit mereka mencari Dewa, mereka berlima baru bertemu dengan Dewa.
Setelah mereka berlima menemukan Dewa, mereka segera melakukan wawancara. Mereka mewawancarai Dewa di sebuah cafe dekat Terminal Kampung Melayu. Mereka bertanya tentang Dewa. Dan juga tentang kehidupan keluarga Dewa.
“Nama adek siapa?”, tanya Rian perwakilan dari kami berlima. “Nama saya Dewa, kak.”, jawab Dewa.
“Dewa di sini kerjanya nyapu terminal?”
“Iya.”, jawab Dewa lagi. Ketika kami mendengar jawaban dari Dewa tersebut, kami merasa kasihan dan ingin tahu bagaimana keadaan sesungguhnya dari keluarga Dewa tersebut.
Rian salah satu perwakilan kami berlima bertanya lagi kepada Dewa, ”Dewa bekerja sebagai penyapu terminal udah berapa lama?”
Dewa menjawab, “Baru 12 hari, kak.”
Kami semakin ingin mengetahui mengapa Dewa, anak yang masih kecil tersebut sudah bekerja. Kami berempat menyuruh untuk Rian bertanya kembali kepada Dewa kenapa dia bekerja di usia dini tersebut, bagaimana keadaan sesungguhnya keluarga Dewa itu.
“Emangnya orang tua Dewa kemana?”, tanya Rian kembali.
Setelah mendengar pertanyaan Rian tersebut, Dewa menangis.
“Kenapa Dewa menangis? Ada apa dengan orang tua Dewa?”
“Ibu Dewa udah meninggal, kalo bapak Dewa sedang gak kerja.”, sahut Dewa dengan mata yang lebam.
“Kok gitu kenapa?”, sahut Rian kembali dengan perasaan yang semakin kepo.
“Ibu Dewa sakit dan menyebabkan ibu Dewa meninggal. Sedangkan bapak Dewa gak kerja gara-gara tangannya sakit, angkat barang di pasar.”, jawab Dewa dengan terus terang.
“Ibu meninggalnya kapan?”
“Udah 2 tahun yang lalu, kak.”
“Dewa punya saudara kandung?”
“Punya. 2 kakak dan 2 adek.”
“Mereka ada di mana?”
“Kakak Dewa yang satu meninggal gara-gara ketabrak kereta api, yang satu gak tau pergi kemana. Kalo adek ada di rumah.”, jawab Dewa lagi. Kami merasa kasihan dengan kehidupan keluarga Dewa.
“Dewa kerjanya dari jam segini sampe jam berapa? Emangnya Dewa gak sekolah?”
“Dari jam 9 sampe jam 12. Dewa sekolah, tapi berangkatnya siang, kak.”, terang Dewa kepada kami berlima.
“Upah Dewa dari bekerja sebagai penyapu terminal berapa?”
“Rp5000, kak.”, jawab Dewa. Kami berlima berfikir. Upah 5000 itu untuk apa? Apa mungkin upah segitu bisa dibuat beli makan?
“Upah segitu di buat apa?”
“Buat beli nasi 1 bungkus.”
“Terus lauknya apa aja?”
“Lauknya bakwan sama mendoan.”
“Terus nasi itu untuk di makan Dewa sendiri?”
“Gak. Tapi dibuat makan bapak, Dewa, sama adek-adek Dewa.”
“Dewa, apa boleh kakak-kakak di sini ikut ke rumahmu?”
“Maaf, kak. Dewa di larang sama bapak untuk membawa orang-orang yang tidak dikenal Dewa ke rumah.”
“Kenapa begitu?”
“Soalnya bapak lagi gak di rumah.”
“Terus bapak di mana?”
“Bapak lagi di rumah kakak.”
“Rumah kakak Dewa emangnya di mana?”
“Gak tau, kak.”
“Ya udah. Makasih ya Dewa atas waktunya untuk kakak. Yuk kita beli makan buat Dewa, ayah Dewa, dan kedua adek Dewa.”
“Iya, kak. Makasih ya.”
“Sama-sama.”

Kami pun berjalan ke warteg dekat Terminal Kampung Melayu. Kami akan membelikan makan untuk keluarga Dewa. Di perjalanan kami pun bercakap-cakap sama Dewa. Kami bertanya Dewa bercita-cita sebagai apa. Dan Dewa pun menjawab jika ia ingin sebagai pemain sepak bola. Dan kami pun membarikan imajinasi kepada Dewa agar ia terus belajar agar cita-citanya tersebut akan tercapai di masa depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar